Raden Haji Oma Irama atau disingkat Rhoma Irama yang berjuluk Raja Dangdut, lahir pada tanggal 11 Desember 1946 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia bergelar raden karena pada kedua orang tuanya mengalir darah bangsawan/ningrat. Ia merupakan putra kedua dari dua belas bersaudara, yaitu delapan saudara laki-laki dan empat saudara perempuan (delapan saudara kandung, dua saudara seibu dan dua saudara bawaan ayah tirinya).
Ayahnya, Raden Burdah Anggawirya merupakan mantan komandan gerilyawan Garuda Putih pada zaman kemerdekaan. Ia memberi nama ‘Irama’ karena bersimpati terhadap grup sandiwara asal Jakarta yang bernama Irama Baru yang pernah diundang untuk menghibur pasukannya di Tasikmalaya. Ia sangat pandai dalam memainkan alat musik serta menyanyikan lagu-lagu cianjuran. Sedangkan Ibunya bernama Tuti Juariah, ia pun merupakan keturunan ningrat dan pandai pula dalam menyanyi, seperti lagu No Other Love yang sering didengarkan Rhoma sewaktu kecil.
Sebelum tinggal di Tasikmalaya, keluarganya tinggal di Jakarta dan di kota inilah, kakaknya Benny Muharram dilahirkan. Sedangkan Rhoma lahir di Tasikmalaya beberapa saat setelah pindah ke kota tersebut. Setelah lahir Rhoma, lahir pula adik-adiknya, seperti Handi dan Ance. Setelah itu, mereka pindah lagi ke Jakarta dan tinggal di Jalan Cicarawa, Bukit Duri, lalu pindah ke Bukit Duri Tanjakan. Di kota inilah mereka menghabiskan masa remajanya sampai tahun 1971, lalu pindah ke Tebet.
Semenjak kecil Rhoma sudah terlihat bakat seninya. Tangisannya terhenti tiap kali ibundanya, Tuti Juariah menyenandungkan lagu-lagu. Masuk kelas nol ia sudah mulai menyukai lagu. Minatnya pada lagu semakin besar ketika masuk sekolah dasar. Menginjak kelas 2 SD ia sudah bisa membawakan lagu-lagu barat dan India dengan baik. Ia suka menyanyikan lagu No Other Love, kesayangan ibunya dan lagu Mera Bilye Buchariajaya yang dinyanyikan oleh Latta Mangeshkar. Selain itu ia juga menikmati lagu-lagu Timur Tengah yang dinyanyikan oleh Umm Kaltsum.
Bakat musiknya mungkin berasal dari ayahnya yang fasih memainkan seruling dan menyanyikan lagu-lagu cianjuran, sebuah kesenian khas Sunda. Selain itu, pamannya, Arifin Ganda sering mengajarkan lagu-lagu Jepang ketika Rhoma masih kecil.
Karena usia Rhoma yang tidak berbeda jauh dengan kakaknya, mereka selalu kompak dan pergi berdua-duaan. Berbeda dengan kakaknya yang malas mengikuti pengajian di surau atau di rumah kyai, Rhoma selalu mengikuti pengajian dengan tekun. Setiap kali ayah dan ibunya bertanya, apakah kakaknya ikut mengaji, Rhoma selalu menjawab ‘ya. Berangkat ke sekolah pun mereka selalu berangkat bersama-sama dengan berboncengan sepeda. Keduanya bersekolah di SD Kibono, Manggarai.
Ketika SD, bakat menyanyi Rhoma semakin kelihatan. Rhoma adalah murid yang paling rajin bila disuruh maju ke depan kelas untuk menyanyi. Uniknya, Rhoma tidak sama dengan murid-murid yang lain yang sering malu-malu di depan kelas. Rhoma menyanyi dengan suara keras hingga terdengar sampai kelas-kelas lain. Perhatian murid-murid semakin besar karena Rhoma tidak menyanyikan lagu anak-anak maupun lagu kebangsaan, melainkan lagu-lagu India.
Bakatnya sebagai penyanyi mendapat perhatian dari penyanyi senior, Bing Slamet karena terkesan melihat penampilan Rhoma ketika menyanyikan lagu barat dalam acara pesta di sekolahnya. Suatu hari, ketika Rhoma duduk di kelas 4, Bing Slamet membawanya tampil dalam sebuah show di Gedung SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) di Manggarai. Ini merupakan pengalaman yang berharga bagi Rhoma.
Sejak saat itu, meskipun belum berpikir untuk menjadi penyanyi Rhoma sudah tidak terpisahkan lagi dari musik. Atas usaha sendiri ia belajar memainkan gitar hingga mahir. Karena saking tergila-gilanya dengan gitar, Rhoma sering membuat ibunya marah besar. Setiap kali ia pulang sekolah yang pertama dicarinya adalah gitar. Begitu pula ketika setiap kali ia keluar rumah hampir selalu membawa gitar. Pernah suatu kali ibunya menyuruh Rhoma menjaga adiknya, tetapi Rhoma lebih suka memilih bermain gitar. Akibat ulah tersebut, ibunya merampas gitarnya lalu melemparkannya ke pohon jambu hingga pecah. Kejadian itu membuat Rhoma sedih karena gitar adalah teman nomor satu baginya.
Perkembangan selanjutnya dalam mempelajari musik ia mulai menyadari bahwa meskipun ayah dan ibunya pasangan berdarah ningrat yang menyukai musik, tetapi mereka tetap menganggap bahwa dunia musik bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan atau dijadikan profesi. Ibunya sering meneriakkan ‘berisik’ setiap kali ia menyanyi dan beranggapan, bahwa musik akan menghambat sekolahnya. Kenyataan ini membuat bakat musik Rhoma semakin berkembang di luar rumah karena jika di rumah ia kurang mendapat dukungan.
Pada saat Rhoma duduk di kelas 5 SD tahun 1958 ayahnya meninggal dunia. Sang ayah meninggalkan delapan anak yaitu: Benny, Rhoma, Handi, Ance, Dedi, Eni, Herry dan Yayang. Kemudian, ibunya menikah lagi dengan seorang perwira ABRI, Raden Soma Wijaya yang masih ada hubungan famili dan juga berdarah ningrat. Ayah tirinya ini membawa dua anak dari istrinya yang dulu dan setelah menikah dengan ibu Rhoma memiliki dua anak lagi.
Ketika ayah kandungnya masih hidup suasana di rumahnya feodal. Bahasa sehari-hari ayah dan ibunya adalah bahasa Belanda. Segalanya harus serba teratur dan menggunakan tatakrama tertentu. Para pembantu harus memanggil anak-anak dengan sebutan ‘Den’ (raden). Anak-anak harus tidur siang dan makan bersama-sama. Ayahnya juga tak segan-segan menghukum mereka dengan pukulan jika dianggap melakukan kesalahan, seperti bermain hujan ataupun membolos sekolah.
Keadaan keluarga Rhoma di Tebet waktu itu memang tergolong cukup kaya bila dibandingkan masyarakat sekitar. Rumahnya mentereng dan memiliki beberapa mobil, seperti, mobil merk Impala, mobil yang tergolong mewah pada waktu itu. Rhoma juga selalu berpakaian bagus dan mahal.
Namun, suasana feodal tersebut tidak ada lagi setelah ayah tirinya hadir di tengah-tengah keluarga mereka. Bahkan, berkat ayah tiri serta pamannya inilah Rhoma mendapatkan ‘angin’ untuk menyalurkan bakat musiknya. Secara bertahap ayah tirinya membelikan alat musik akustik seperti, gitar, bongo, dan sebagainya.
Dunia Rhoma di masa kanak-kanak rupanya bukan hanya di dunia musik. Rhoma juga sering adu jotos dengan anak-anak lain. Lingkungan pergaulannya ketika itu tergolong keras. Anak-anak saat itu cenderung mengelompok dalam geng dan satu geng dengan geng lainnya saling bermusuhan atau paling tidak saling bersaingan. Dengan demikian perkelahian antar geng sering tak terhindarkan.
Bukitduri, tempat tinggalnya hampir setiap kampung di daerah itu terdapat geng (kelompok anak muda). Di Bukitduri ada BBC (Bukitduri Boys Club), di Kenari ada Kenari Boys, Cobra Boys, dan sebagainya. Banyak anak muda dari Bukitduri Puteran dan dari Manggarai yang bergabung dengan Geng Cobra. Geng-geng ini saling bermusuhan sehingga keributan selalu hampir terjadi setiap mereka bertemu.
Satu hal yang cukup menonjol pada diri Rhoma adalah, bahwa teman-temannya hampir selalu menjadikannya sebagai pemimpin. Tentu saja bila gengnya bentrok dengan geng lain, Rhoma-lah yang diharapkan tampil di depan untuk berkelahi. Meskipun pernah menang beberapa kali Rhoma juga sering mengalami babak belur bahkan luka cukup parah karena dikeroyok 15 anak di daerah Megaria.
Ketika ia masuk SMP tempat-tempat berlatih silat semakin marak. Tetapi, bagi Rhoma ilmu bela diri nasional ini tidaklah asing karena sejak kecil ia sudah dapat latihan dari ayahnya dan beberapa guru lainnya. Rhoma pernah belajar silat Cingkrik (paduan silat Betawi dan Cimande) kepada Pak Rohimin di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Rhoma juga pernah belajar silat Sigundel di jalan Talang, selain beberapa ilmu silat yang lain. Bila terjadi perkelahian antar geng para anggotanya saling menjajal ilmu silat yang telah mereka pelajari.
Karena kebandelannya itulah, maka Rhoma beberapa kali harus tinggal kelas sehingga karena malu maka ia sering berpindah sekolah. Kelas 3 SMP pernah dijalaninya di Medan, Sumatera Utara ketika ia dititipkan di rumah pamannya. Tapi, tak berapa lama kemudian, ia pindah lagi ke SMP Negeri XV Jakarta.
Kenakalan Rhoma terus berlanjut hingga bangku SMA. Pada waktu bersekolah di SMA Negeri VIII Jakarta, ia pernah kabur dari kelas lewat jendela karena ingin bermain musik dengan teman-temannya yang sudah menunggunya di luar. Kegandrungannya pada musik dan berkelahi di dalam dan luar sekolah membuatnya sering keluar masuk sekolah SMA. Selain di SMA Negeri VIII Jakarta, ia juga pernah tercatat sebagai siswa di SMA PSKD Jakarta, SMA St. Joseph di Solo dan akhirnya ia menetap di SMA 17 Agustus Tebet, Jakarta, tak jauh dari rumahnya.
Pada masa SMA di Solo Rhoma pernah melewati masa-masa sangat pahit. Ia terpaksa menjadi pengamen di jalanan kota Solo. Di sana ia ditampung di rumah seorang pengamen yang bernama Mas Gito. Sebenarnya sebelum terdampar di Solo ia berniat hendak belajar di pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Namun, karena tidak membeli karcis Rhoma, Benny (kakaknya) dan tiga orang temannya, Daeng, Umar dan Haris harus main kucing-kucingan dengan kondektur selama dalam perjalanan. Daripada terus gelisah karena takut ketahuan dan diturunkan ditempat sepi, mereka akhirnya memilih turun di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Dari Yogya mereka naik kereta lagi menuju Solo.
Ketika di Solo Rhoma melanjutkan sekolahnya di SMA St. Joseph. Biaya sekolahnya diperoleh dari ngamen dan menjual beberapa potong pakaian yang dibawanya dari Jakarta. Namun karena di Solo sekolahnya tidak lulus, Rhoma harus pulang ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus sampai akhirnya lulus tahun 1964. Kemudian, ia kuliah di Fakultas Sosial Politik, Universitas 17 Agustus. Tapi, hal tersebut hanya bertahan satu tahun karena ketertarikannya pada dunia musik yang begitu besar.
Musik pop dan rock merupakan langkah pertama Rhoma sebagai pemusik dan penyanyi. Seperti dikisahkan kakak kandungnya, Benny Muharram, bahwa Rhoma sempat enggan merekam lagu Melayu yang ditawarkan oleh Dick Tamimi dari perusahaan rekaman Dimita Moulding Company pada tahun 1967, meskipun sebelumnya dia sudah sering menyanyi bersama sejumlah orkes melayu.
Selain menjadi penyanyi Orkes Melayu Candraleka dan Indraprasta, Rhoma juga melantunkan suaranya bersama Band Tornado dan Varia Irama Melody. Bersama band-band tersebut Rhoma membawakan lagu-lagu pop barat dan menyanyi sambil meniru persis suara Paul Anka melalui lagu yang berjudul Diana ataupun Put Your Head On My Shoulder dan lagunya Andy Williams seperti, Butterfly, Moon River, serta Tom Jones seperti, Green-green Grass of Home, Dellilah.
Rhoma memang sudah bergelut dengan musik pop sejak masih di bangku SMA. Bersama teman-teman sekolahnya ia sempat membentuk Band Gayhand. Ketika musik Rock n’ Roll melanda Indonesia, ternyata hal tersebut membuat Rhoma terpesona hingga dalam hatinya ia bertekad “Elvis saja bisa menjadi raja dengan gitarnya, saya juga bisa”.
Namun begitu berada di dalam dunia musik, Rhoma ikut terbawa arusnya. Dengan meniru gaya menyanyi Benyamis S. dan Ida Royani, Muchsin Alatas dan Titiek Shandora yang sedang populer, Rhoma tidak keberatan diduetkan dengan Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaya dari perusahaan rekaman Metropolitan dan Canary Records. Diiringi Band Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin, Rhoma dan Inneke rekaman dalam sejumlah lagu seperti, Pujaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu-kupu, Mohon Diri, Mabuk Kepayang, Jangan Dekat-dekat, Anaknya Lima, Si Oteh, Lonceng Berbunyi, Melati di Musim Kemarau dan Cinta Buta. Menurut Zakaria, pimpinan Orkes Pancaran Muda yang salah satu lagunya, Anaknya Lima, dibawakan duet ini. Munculnya pasangan Rhoma-Inneke sempat menggoyahkan popularitas Muchsin Alatas dan Titiek Sandora.
Melihat keberhasilannya berduet dengan Inneke, kemudian Zakaria menyarankan Rhoma berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti lomba menyanyi di Singapura pada tahun 1971, dan duet Rhoma-Wiwiek berhasil menjadi juara.
Pada acara Panggung Gembira Hari Radio ke 26 di halaman gedung RRI Jln. Merdeka Barat, 19 Januari 1971, walau termasuk masih baru, duet Rhoma-Inneke menjadi pusat perhatian di antara penyanyi-penyanyi duet lainnya, seperti, Elly Kasim-Tiar Ramon, Vivi Sumanti-Frans Doromez dan Ida Royani- Benyamin Sueb. Duet Rhoma-Inneke juga diiringi oleh Band Galaxi pimpinan Jopie Item ketika rekaman. Dengan pakem musik rock, Jopie mengiringi Rhoma mengiringi sendirian dengan pekik dan teriakan yang kemudian diteruskannya setelah mendirikan Soneta Group pada 13 Oktober 1970.
Pergaulan Rhoma dengan musik pop dan rock pula yang mempertemukannya dengan pimpinan band perempuan Beach Girls yang bernama Veronica Agustina Timbuleng dan lantas menikahinya pada tahun 1972. Pasangan ini dikaruniai tiga orang anak, yaitu Debbie Veramasari, Fikri Zulfikar dan Romy Syahrial.
Arus industri musik juga sempat membawa Rhoma dan Vero bertrio dengan Debbie mengikuti sukses Chicha dengan lagu Heli serta Yoan dengan lagu Si Kodok pada tahun 1976. Akan tetapi, setelah memimpin grupnya sendiri, Soneta Group yang bersemboyan Voice of Moslem (Suara Muslim), Rhoma justru menjadi arus itu sendiri dengan menyuntikkan musik rock ke dalam album dangdutnya yang pertama yang berjudul ‘Begadang’, yang berisi lagu-lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Keripit, Cinta Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega dan Sedingin Salju. Akibatnya, Rhoma menyulut pro dan kontra. Komunitas dangdut banyak yang keberatan, sementara kalangan pemusik rock menerima dengan sinis. Ujung-ujungnya diadakan diskusi yang bertajuk “Sekitar Musik Hard Rock dan Dangdut” di Gedung Merdeka Bandung pada akhir Juni 1976, dengan Maman S. dari majalah Aktuil sebagai penyelenggara, dan menghadirkan pembicara Dr. Sudjoko dari ITB, Remy Silado, Benny Subarja dan Denny Sabri sebagai wakil Rhoma yang tidak hadir. Ahmad Albar dan Harry Roesli yang diundang tidak juga tidak kelihatan. Eksperimen Rhoma yang semestinya dijadikan perhatian serius justru menjadi olok-olok hingga timbul ejekan, seperti, tahi anjing dan bistik jangan dibandingkan gado-gado. Grup rock God Bless dan Soneta dipertemukan di Istora, pada 22 Desember 1977 dengan maksud melihat mana yang lebih hebat, rock atau dangdut. Padahal, sebelum manggung Rhoma melepaskan merpati putih sebagai tanda perdamaian.
Sebagaimana diskusinya, pertunjukan di Istora tersebut juga tidak memberikan solusi yang konkret. Grup musik rock tetap berjalan sebagaimana biasa, sementara Rhoma justru terus berkibar dengan dangdut rocknya yang semakin membumi sampai-sampi masyarakat menjulukinya ‘Raja Dangdut’. Album-album rekamannya yang semakin ‘ngerock’ mengalir tanpa bisa dibendung, bahkan oleh pemerintah Orde Baru sekalipun yang dengan alasan politik melarangnya tampil di stasiun televisi satu-satunya saat itu, TVRI. Hal tersebut merupakan dampak atas lagu-lagunya yang menyindir pemerintah, seperti pada lagu Hak Azasi. Pada lagu tersebut dengan gagah berani Rhoma berbicara mengenai HAM, kebebasan berbicara, beragama, bekerja dan sebagainya. Album rekamannya menjadi arus yang memutar roda industri musik semakin kencang. Setelah album Begadang menjadi sangat populer, menyusul album-album berikutnya, seperti; Penasaran (1976), Rupiah (1976), Darah Muda (1977), Musik (1977), 135 Juta (1978), Santai (1979), Hak Azasi (1980), Begadang II (1981), Sahabat (1982), hingga Indonesia (1983), yang semuanya diproduksi oleh Yukawi Corporation. Perusahaan rekaman ini lantas berubah menjadi Soneta Records, milik Rhoma.
Langkah tegap Rhoma semakin mantap dengan membintangi beberapa film, seperti; Oma Irama Penasaran (1976), Gitar Tua Oma Irama (1977), Oma Irama Berkelana I (1978), Oma Irama Berkelana II (1978), Begadang (1978), Raja Dangdut (1978), Cinta Segitiga (1979), Camelia (1979), Perjuangan dan Doa (1980), Melodi Cinta Rhoma Irama (1980), Badai di Awal Bahagia (1981), Satria Bergitar (1984), Cinta Kembar (1984), Pengabdian (1985), Kemilau Cinta di Langit Jingga (1985), Menggapai Matahari I (1986), Menggapai Matahari II (1986), Nada-nada Rindu (1987), Bunga Desa (1988), Jaka Swara (1990), Nada dan Dawah (1991), serta Tabir Biru (1994), diteruskannya dengan penerbitan soundtrack yang laris manis. Dalam film Darah Muda, Rhoma bahkan menggandeng Ucok Harahap dari grup rock Aka yang pernah bertarung dengan Soneta Group di atas panggung. Pertarungan musik rock dan dangdut juga adalah inti cerita film ini.
Berdasarkan data penjualan kaset dan jumlah penonton film-film yang dibintanginya, penggemar Rhoma tak kurang dari 15 juta atau 10% penduduk Indonesia. Ini catatan sampai pertengahan tahun 1984. “Tidak ada kesenian mutakhir yang memiliki lingkup sedemikian luas”, tulis majalah Tempo pada 30 Juni 1984. sementara itu Rhoma sendiri berkata, “Saya takut publikasi, ternyata, saya sudah terseret jauh”.
Data PT Perfin menyebutkan, hampir semua film Rhoma laku. Bahkan, sebelum sebuah film selesai diproses orang sudah membelinya, seperti film berjudul Satria Bergitar misalnya. Film yang dibuat dengan biaya Rp 750 juta ini, ketika belum rampung sudah memperoleh pialang Rp 400 juta. Menurut kakaknya, Benny, yang juga produser PT Rhoma Film, Rhoma tidak pernah makan uang dari hasil film, tetapi dari hasil penjualan kaset. Uang hasil film disumbangkan untuk, antara lain, masjid, yatim piatu, kegiatan remaja dan perbaikan kampung. Bahkan, pada tahun 1983 Rhoma membayar zakat sebesar Rp 6 juta.
Meskipun demikian, jika dikaitkan dengan perolehan material, Rhoma bisa dikatakan sebagai pemusik terkaya di negeri ini. Bayangkan, sebelum pemusik lain naik mobil Mercy, ia sudah menikmati kenyamanan mobil mewah itu sejak tahun 70-an. Hal tersebut terindikasi ketika membaca wawancaranya dengan harian The Jakarta Post, saat Rhoma secara rendah hati menyatakan punya uang yang cukup meski tidak banyak. Hal itu masuk akal, mengingat sejeblok-jebloknya kaset Rhoma Irama di pasaran, minimal akan terjual sampai 400 ribu copy per album. Ini semakin menggelikan jika dibandingkan dengan musisi di luar dangdut yang acapkali berbangga secara berlebihan meski kasetnya hanya terjual tak lebih dari 100 ribu copy.
Boleh jadi sampai kini kejayaan Rhoma belum tergantikan. Kalau dulu ada sebutan The Big Five untuk para ‘Bintang Mahal’, seperti, Roby Sugara, Roy Marten dan Yati Ocktavia, maka pada saat yang sama sebenarnya nilai kontrak Rhoma tetap jauh di atas mereka. Bahkan, banyak produser film rela menunggu giliran sampai tiga tahun hanya untuk dapat mengontrak Rhoma.
Selain itu, Rhoma juga terhitung sebagai salah satu penghibur paling sukses dalam mengumpulkan massa. Rhoma bukan hanya tampil di dalam negeri, tetapi ia juga pernah tampil di Kuala Lumpur, Singapura dan Brunei Darussalam dengan jumlah penonton yang hampir sama ketika ia tampil di Indonesia. Beberapa media massa Indonesia melaporkan, bahwa, penonton pertunjukan Rhoma di berbagai daerah ada yang jatuh pingsan atau celaka lantaran terlalu berdesakan. Hal yang sangat disesalkan Rhoma sendiri. “Untuk mendapatkan hiburan, mengapa mesti sampai jatuh korban begitu?” katanya.
Rhoma menyatakan, bahwa dirinya banyak dijadikan bahan rujukan penelitian. Ada sekitar 7 skripsi tentang dirinya dan musik yang telah dihasilkan. Selain itu, peneliti asing juga kerap menjadikannya obyek penelitian, salah satunya adalah William H. Frederick, Doktor Sosiologi, Universitas Ohio, AS pada 1985 dengan judul; Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesia Popular Culture, yang meneliti tentang kekuatan popularitas serta pengaruh Rhoma Irama pada masyarakat. Ia menyebutkan dalam tesisnya, bahwa: “Rhoma Irama adalah revolusioner dalam dunia musik Indonesia. Hampir bisa dipastikan, di Indonesia, Rhoma Irama adalah penghibur paling jempolan. Sejak rapat-rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang paling banyak dibanjiri massa adalah panggung Rhoma Irama”. Lebih lanjut ia mengatakan, “Bila di dunia musik Amerika sosok Mick Jagger sangat berpengaruh, di Indonesia, bandingan sosok yang sepadan dengannya ada pada figur Rhoma Irama. Kedua orang ini sama-sama jenius dan otodidak. Keduanya mampu tampil ke posisi puncak musikalnya karena kekuatan bakat alam yang luar biasa hebat.”
Pada akhir April 1994 Rhoma Irama menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Tanaka dari Life Record Jepang di Tokyo. Sebanyak 200 buah judul lagunya akan direkam ke dalam bahasa Inggris dan Jepang, untuk diedarkan di pasar Internasional. Rencananya lagu-lagu tersebut dibuat dalam bentuk laser disc (LD) dan compact disc (CD).
Mereka digambarkan sebagai raja dan ratu yang sama-sama mempunyai kerajaan. Suasana itu makin kental dan legitim dengan hadirnya MURI (Museum Rekor Indonesia -red.) yang memasukkan Rhoma dan Elvy sebagai raja dan ratu dangdut Indonesia. Meski terlambat, tentu cukup menghibur. Soalnya, jauh sebelum itu, di tahun 1985, majalah Asia Week telah menempatkan Rhoma Irama sebagai raja musik Asia Tenggara.
aloenk
ksatria bergitar
Jumat, 25 Desember 2009
Rhoma Irama's Short Biography
Si mawar menyandang gitar
Masa mudanya ditempuhnya dengan prihatin. pernah jadi pengamen di solo. tak pernah makan dari uang filmnya yang laris itu. ia tak akan bergabung dengan ppp lagi, dan "tidak lagi memperjuangkan islam."
KAPTEN Raden Burda Anggawirya, pemimpin Batalyon Garuda Putih yang bertugas di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat, suatu hari pulang lebih cepat. Bangsawan yang pada masa penjajahan tak
tergiur dengan jabatan-jabatan bupati, seperti saudara-saudaranya, malam itu bermaksud mengajak istrinya menonton sandiwara Sunda yang dipentaskan grup Irama Baru. Ny. Tuty DJuariah, sang istri, sedang hamil tua. Tetapi perempuan yang menunggu kelahiran anak kedua ini tidak menolak. Ia tahu,
suaminya sangat suka pertunukan panggung. Sepulang dari menonton inilah Ny. Tuty merasa sakit perut. Dan, tak lama kemudian, melahirkan. Raden Burda secara spontan memberi nama Irama untuk sang bocah, sebagai pelampiasan kekagumannya pada grup Irama Baru. Irama, putra kedua Raden
Burda ini, ketika mulai belajar bicara lebih senang memanggil ibunya Oma. "Yah, akhirnya sepakatlah, diberi saja nama Oma Irama. Jadi itu nama asli," Ny. Tuty berkisah.
Anak itu, yang lahir 11 Desember 1946, kini telah jadi raia musik dandut dengan nama yang dipermaknya sendiri: Rhoma Irama. Ini singkatan dari Raden Haji Oma Irama, nama yang disandang
secara resmi sepulang dari naik haji, 1976. "Pada waktu saya mengandung Oma, saya bermimpi menggendong mawar yang indah," tutur Ny. Tuty pula.
Si mawar yang indah, kenyataannya, memang suka yang serba rapi Ketika d sekolah dasar (sekolah rakyat) - sampai kelas III di Tasikmalaya dan kemudian di Tebet, Jakarta Selatan - Oma selalu
memamerkan kamar tidurnya yang resik, tidak seperti kamar tidur saudara-saudaranya. Oma suka menyendiri, tetapi ia anak yang patuh, selalu minta izin kepada ibunya jika meninggalkan rumah
untuk bermain. Tetapi ia sudah menunjukkan bakatnya menyanyi. Pernah satu kelas tiba-tiba kosong karena muridnya pergi ke kelas lain. Di kelas ini Oma Irama mendendangkan lagu dengan gayanya yang memikat, kepalanya bergoyang-goyang dan matanya terpejam-pejam.
Sekarang Rhoma Irama membatasi membicarakan masa kecil itu, karena ia mengaku banyak yang ia lupa. Tapi ia membenarkan, sejak SD bakat keseniannya, khususnya menyanyi, sudah ada.
Di sekolah menengah anak ini sudah gemar memetik gitar. Tetapi kepada ibunya ia tak pernah menyebutkan punya cita-cita menjadi penyanyi. Oma tetap memelihara dan menyebut cita-citanya sejak
kecil: menjadi hakim. Ia kuat dalam mata pelajaran sejarah dan ilmu bumi, tetapi jatuh pada pelajaran berhitung, aljabar, dari ilmu ukur. Tidak jelas nilai pelajaran kesenian, mengingat ketika di SMA Oma sudah sering kali menyanyi, juga di luar sekolah.
Agak di luar dugaan, dan tak banyak yang tahu, ketika lulus SMA Oma berniat memperdalam agama di Pesantren Tebuireng, Jombang. Diam-diam ia berangkat ke Bandung, maksudnya dengan kereta api
akan bertolak ke Jombang. Tapi kakaknya, Benny, menyusul ke Bandung bersama Haris, temannya sejak kecil. Keduanya bermaksud mengantar Oma ke Tebuireng. Celakanya, uang tak cukup. Di kereta
api, ketiga orang inl main kuclng-kucingan dengan kondektur karena tidak punya karcis. Bahkan untuk makan Haris mencuri tahu. Ketika kereta tiba di Solo, ketiganya turun dan hidup menggelandang.
Haris, kini salah seorang staf di PT Rhoma Film, bisa menuturkan lebih lanjut kisah suram Oma selama menjadi "gelandangan" di Solo. Mereka membeli nasi dengan terlebih dahulu menjual baju secara bergiliran. Suatu malam, selesai makan di sebuah warung pinggir jalan, Oma memetik gitar dan mengalunkan sebuah lagu. Rupanya ada orang yang memperhatikan an tersentuh, kemudian
memberikan uang. Bahkan si pemberi uang itu, lelaki kekar yang tangannya penuh tato, menawarkan rumahnya yang berdinding bambu dan berlantai tanah untuk tempat penampungan. Ketiga "gelandangan Jakarta" ini bagai mendapat durian runtuh, walau rumah di tepi Bengawan Solo itu jauh dari sehat.
Esok hari setelah ditampung Gito - lelaki bertato itu - mulailah . profesi baru bagi tiga remaja ini, Benny, Oma Irama, dan Haris. Yakni, ngamen keliling Kota Solo. "Ketika menerima uang hasil ngamen, kami benar-benar terharu setelah Oma berkata, ini profesi kita sekarang," kata Haris. Hidup waktu itu pas-pasan untuk makan. Pakaian yang tinggal hanya yang melekat di badan. Oma mencuci pakaiannya malam hari dan dipakai lagi pagi harinya, kadang masih sedikit lembab. Periode menggelandang di Solo ini
berakhir menjelang G-30-S/ PKI - dan mereka kembali ke Jakarta.
Sebenarnya ada pula penuturan tentang masa prihatin lain yang dialami Oma Irama sebelum episode Solo, yakni ketika di Medan. Menurut sumber TEMPO, di Medan Oma diangkat sebagai anak oleh
seorang keluarga yang menemukan Oma sebagai penyemir sepatu. Kemudian di kota inilah Oma ikut grup band Varia Irama Melody. Kisah ini agak sulit dikonfirmasikan sekarang, juga dari Rhoma sendiri. "Saya tak ingat," jawab Rhoma tentang kisah-kisah perihal Medan. Tetapi ia membenarkan, pernah menetap beberapa lama di kota itu dan ikut grup band.
Keprihatinan di masa remaja, kehilangan ayah ketika masih di sekolah dasar (1957), membentuk pribadi Oma menjadi keras dan kukuh dalam prinsip dan pendirian. Kekerasan itu tampak dalam beberapa hal. Di bidang musik, ia berkali-kali pindah grup karena tiada kecocokan, akhirnya melahirkan Soneta Group. tahun 1971. Itu belum cukup. Ketika irama Melayu disudutkan sebagai musik kampungan, Oma tampil dengan "revolusi" di bidang musik dangdut, mencampurinya dengan rock. Kekerasan jiwa Oma juga dibawanya ke luar musik. September 1970, ia mengawini Veronica, penyanyi band cewek The Beach Girl, dengan liku-liku perjuangan yang menunjukkan betapa kerasnya hati Oma. Maklum Veronica lahir dari keluarga Katolik dan lamaran Oma sempat diabaikan.
Keluarga Rhoma Irama kini dikaruniai tiga putra. Debby Veranasari lahir 1971 dan sedang merampungkan album ketiga lagu anak-anak. Anak kedua, Vicky Zulfikar, lahir 1976. Dan menyusul
Romi Syahriali lahir 1977. Setiap hari ketiga anak ini dengan tekun mengaji kepada seorang guru dl lantal atas sebuah bangunan terbuka. Lantai bawah digunakan tempat latihan Soneta Group dan Soneta Girl. Kebisingan dan suara ingar bingar tak membuat ketiga anak Rhoma Irama terganggu mengaji.
Bukan cuma anaknya sendlri, tapi juga seluruh personil Soneta diharuskan punya dasar agama yang kuat. Dan sebagai orang yang gagal memasuki dunia pesantren, Rhoma mendatangkan guru agama,
Ustad Said Ubeid Elly, sejak 1974. "Sebenarnya saya hanya mengajarkan bahasa Arab kepada Haji Oma. Tapi sering juga kemudian terlibat diskusi tentang agama. Saya mengagumi Oma, ia begitu bergairah mempelajari agama," kata Ustad Said.
Dua tahun setelah mendatangkan guru Rhoma naik haji. Napas agama makin terasa dalam sepak terjang pemusik ini. Soneta Group diproklamasikan sebagai The Sound of Moslem, bahkan belakangan
mau diganti menjadi Haji Sembilan, mengabadikan tokoh Walisongo yang menyebarkan Islam dengan wayang dan gamelan. Lagu-lagu Rhoma makin gencar membawakan pesan-pesan agama. Rumah Rhoma yang besardan bertembok tinggi di Kebon Baru, Tebet, bersuasana pesantren. Bahkan kehidupan sehari-hari sedikit berbau Arab. Bukan saja setiap saat muncul sapaan Assalamualaikum, juga
istilah-istilah bahasa Arab lainnya, seperti ta faddal bila ada tamu, atau alafu untuk meminta maaf.
Unsur keagamaan ini mau tak mau menyeret Rhoma ke kancah politik setidaknya setiap ada pemilu. Rhoma Irama punya pandangan tegas dengan sikapnya yang keras itu "Sejak 1971 saya memilih kampanye untuk PPP karena ia beraspirasikan Islam," kata Rhoma. Perjalanan sang waktu mencatat aktvita. Rhoma Irama berkampanye dan jumlah korban yang jatuh karena tergencet menyaksikan raja dangdut ini naik ke mimbar kampanye. Ibu Rhoma, yang juga tinggal & Tebet tetapi terpisah dengan rumah keluarga Rhoma, menggigil ketakutan dan menangis saat-saat kampanye pemilu. Tetapi Rhoma selalu minta izin dan sambil mencium tangan ibunya, ia berkata, "Tak perlu khawatir melepaskan saya untuk kampanye. Kalau saya tak ada lagi, bukankah masih banyak adik saya yang bisa menggantikan saya?" Sang ibu hanya bisa berdoa.
Akibat pilihan politiknya bukan tak ada. Izin pementasannya dipersulit. "Pernah pula saya dilarang bicara, ketika panitia perkawinan mengundang saya untuk memberi nasihat-nasihat," tutur Rhoma. TVRI, dengan alasan yang tak pasti, tak pernah memunculkan Rhoma. Bahkan ketika FFI Medan, 1983, yang seluruh peralatan panggung dan musik kepunyaan Rhoma Irama dipergunakan dan acara itu disiarkan langsung TVRI, pada saat Soneta Group muncul TVRI mendadak berganti acara lain. "Semuanya itu saya terima dengan tabah," jawab Rhoma.
Tetapi Rhoma tak pernah menyebut dirinya politikus. Karena itu, dalam pemilu yang akan datang, ia tak akan bergabung dengan PPP lagi, apalagi kampanye. Kenapa? "PPP dan lain-lainnya sama saja,
tidak lagi memperjuangkan Islam," katanya. Ia kemudian menegaskan bahwa sejak dulu ia tak suka jabatan di politik apalagi di pemerintahan.
Kadang kala, seperti diakuinya, Rhoma juga bertanya dalam hati, pengucilan masih terus dikenakan, sementara ia merasa sebagai pembayar pajak yang setia. Pada tahun 1981 Rhoma membayar pajak
Rp 5 juta, dan tahun lalu Rp 20 juta. Ini pajak penghasilan pribadi. Artinya di luar pajak penghasilan perusahaan yang didirikan bersama keluarganya, seperti PT. Rhoma Film dan Soneta Record. Tahun lalu ia juga membayar zakat sebesar Rp 6 juta.
Orang kayakah Rhoma Irama? "Anda lebih kaya dari saya," kata Rhoma kepada TEMPO. Yang pasti, di rumah pinggir Kali Ciliwung itu, memang bertengger paling tidak empat mobil, salah satu bermerk Mercy, mobil yang biasa dipakai Rhoma. Dan di rumah ini sekitar 100 orang diberi makan setiap hari, dan pembantu, pemusik, penjaga pintu, sopir, dan tamu. Untuk makan setiap hari Ny. Vera mengaku mengeluarkan uang Rp 75.000 sampai Rp 100 000. Setiap bulan dikeluarkan uang sekitar Rp 7 juta untuk pos gaji: tujuh pembantu rumah tangga, empat sopir, dua petugas pintu, seorang penerima tamu, 10 anggota Soneta Group, 10 anggota Soneta Girl, dan 15 teknisi.
Dengan orang sebanyak itu, di luar tamu yang lalu-lalang, rumah Rhoma Irama memang tak pernah sepi. Dan memang mustahil kalau ada yang menyebutkan rumah Rhoma "tertutup". Rhoma sendiri
selalu minta kepada siapa saja di rumah itu untuk tidak berbohong. Misalnya, Rhoma ada di rumah, tetapi dikatakan tak ada. Tapi tak berarti orang mudah menemui pemusik itu. Siang hari ia lebih banyak tidur. Sore dan malam ia berkutat di perusahaan rekamannya di Cimanggis, Depok. Tak jarang, di tengah malam buta itulah Rhoma menerima tamunya. Kapan waktunya untuk anak-anak? "Secara khusus kadang kala tak ada waktu. Jika ada show, itu kesempatan terbaik bagi kami untuk jalan-jalan membawa anak," kata Ny. Vera. Dan Rhoma selalu minta maaf atas sempitnya waktu untuk anak-anaknya. "Kadang kala saya sempatkan untuk pulang subuh dan bersembahyang berjamaah di rumah dengan anak-anak, setelah itu ngobrol membicarakan persoalan mereka," kata Rhoma.
Sosok seperti inilah yang juga membesarkan Rhoma. Tapi apa pun julukan orang kepadanya, Rhoma adalah orang yang sederhana sehari-hari, bahkan ada kesan lugu. "Sejak naik haji Kang Rhoma
banyak diam. Ia hanya menjawab kalau ditanya," kata Dedy Irama, 28, satu-satunya dari sebelas saudara Rhoma yang ikut memakai nama Irama.
Keluarga ini tak pernah guncang oleh gosip seperti dialami artis lain. Pernah ia digosipkan dengan teman duetnya seperti Elvy Sukaesih, Dedeh, Rita Soegiarto, dan Ricca Rachim. Rhoma dan Vera tetap rukun. Tetapi Rhoma pernah mendatangi kantor media massa yang secara gencar menggosipkan dirinya ada main dengan perempuan laib. Masalahnya karena Debby, si kecil itu, langsung membawa koran ke depan ayahnya dan protes, "Apa-apaan sih ini, Papa? Koran ngeributin Papa, Papa diam saja." Itu tiga tahun yang lalu, dan kini Debby semakin "dewasa" dengan persoalan seperti itu. Bagi Rhoma, setiap ada gosip tentang pribadinya, ia melakukan introspeksi. "Saya selalu bertanya kepada-Nya, apa salah saya belum bisa jadi sahabat mereka yang suka memfitnah itu?" ujarnya.
Yang langsung dirasakan masyarakat, terutama di sekitar Tebet, adalah kedermawanan keluarga Rhoma. Ia banyak menyumbang untuk musala, masjid, yatim piatu, kegiatan remaja, dan perbaikan
kampung. Sumbangan itu diambilkan Rhoma dari honor-honor filmnya. "Rhoma tak pernah makan dari uang film. Ia hanya makan uang dari kaset lagu," kata Haji Benny Muharam, kakak Rhoma, yang jadi produser PT Rhoma Film.
Dunia film ternyata dunia yang penuh tanda tanya untuk menilai Rhoma secara utuh. Film-film Rhoma terdahulu adalah kisah tentang orang miskin, cinta yang ditolak atau sekitar itu. Tetapi dalam film terbarunya, Satria Bergitar, Rhoma seperti bermimpi. Ia tiba-tiba bermimpi menjadi nabi, dengan namanya sendiri, pada suatu masa yang tak jelas juntrungannya. Film yang payah jalan ceritanya ini terlalu sarat oleh pesan-pesan dakwah, sehingga terkesan penonton sebagai orang dungu yang harus
dicekoki. Begitu kontras, Rhoma, yang sehari-hari sederhana, banyak bicara, dan menolak disebut sperstar, tiba-tiba "berangan-angan" sedemikian besar di dalam Satria Bergitar. Suatu hal yang sulit diterka. Apa jawab Rhoma? "Itu urusan sutradara," katanya. Tidak salah, memang, tetapi orang tahu
Rhoma selalu menulis skenario untuk film-filmnya dan begitu dominan dalam menentukan jalan cerita.
Mungkinkah film itu dibuat dengan pertimbangan pasar? Sampai pekan lalu Satria Bergitar memang sudah memasukkan Rp 300 juta uang dari peredaran di Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Belum "di
daerah pinggiran", pasaran terbesar film-film Rhoma. Tak ada film Rhoma yang biaya pembuatannya tidak kembali. Cinta Kembar, film yang tengah diproses yang melibatkan keluarga Rhoma dari
adik sampai ibunya, "hanya" menelan biaya Rp 250 juta (bandingkan dengan Satria Bergitar yang memakan biaya Rp 750 juta) - tapi sudah dibeli pialang Rp 400 juta.
Mungkin ini yang disebutnya rezeki dari Allah.
TEMPO.....CATATAN TONY VAN JAVA
Masa mudanya ditempuhnya dengan prihatin. pernah jadi pengamen di solo. tak pernah makan dari uang filmnya yang laris itu. ia tak akan bergabung dengan ppp lagi, dan "tidak lagi memperjuangkan islam."
KAPTEN Raden Burda Anggawirya, pemimpin Batalyon Garuda Putih yang bertugas di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat, suatu hari pulang lebih cepat. Bangsawan yang pada masa penjajahan tak
tergiur dengan jabatan-jabatan bupati, seperti saudara-saudaranya, malam itu bermaksud mengajak istrinya menonton sandiwara Sunda yang dipentaskan grup Irama Baru. Ny. Tuty DJuariah, sang istri, sedang hamil tua. Tetapi perempuan yang menunggu kelahiran anak kedua ini tidak menolak. Ia tahu,
suaminya sangat suka pertunukan panggung. Sepulang dari menonton inilah Ny. Tuty merasa sakit perut. Dan, tak lama kemudian, melahirkan. Raden Burda secara spontan memberi nama Irama untuk sang bocah, sebagai pelampiasan kekagumannya pada grup Irama Baru. Irama, putra kedua Raden
Burda ini, ketika mulai belajar bicara lebih senang memanggil ibunya Oma. "Yah, akhirnya sepakatlah, diberi saja nama Oma Irama. Jadi itu nama asli," Ny. Tuty berkisah.
Anak itu, yang lahir 11 Desember 1946, kini telah jadi raia musik dandut dengan nama yang dipermaknya sendiri: Rhoma Irama. Ini singkatan dari Raden Haji Oma Irama, nama yang disandang
secara resmi sepulang dari naik haji, 1976. "Pada waktu saya mengandung Oma, saya bermimpi menggendong mawar yang indah," tutur Ny. Tuty pula.
Si mawar yang indah, kenyataannya, memang suka yang serba rapi Ketika d sekolah dasar (sekolah rakyat) - sampai kelas III di Tasikmalaya dan kemudian di Tebet, Jakarta Selatan - Oma selalu
memamerkan kamar tidurnya yang resik, tidak seperti kamar tidur saudara-saudaranya. Oma suka menyendiri, tetapi ia anak yang patuh, selalu minta izin kepada ibunya jika meninggalkan rumah
untuk bermain. Tetapi ia sudah menunjukkan bakatnya menyanyi. Pernah satu kelas tiba-tiba kosong karena muridnya pergi ke kelas lain. Di kelas ini Oma Irama mendendangkan lagu dengan gayanya yang memikat, kepalanya bergoyang-goyang dan matanya terpejam-pejam.
Sekarang Rhoma Irama membatasi membicarakan masa kecil itu, karena ia mengaku banyak yang ia lupa. Tapi ia membenarkan, sejak SD bakat keseniannya, khususnya menyanyi, sudah ada.
Di sekolah menengah anak ini sudah gemar memetik gitar. Tetapi kepada ibunya ia tak pernah menyebutkan punya cita-cita menjadi penyanyi. Oma tetap memelihara dan menyebut cita-citanya sejak
kecil: menjadi hakim. Ia kuat dalam mata pelajaran sejarah dan ilmu bumi, tetapi jatuh pada pelajaran berhitung, aljabar, dari ilmu ukur. Tidak jelas nilai pelajaran kesenian, mengingat ketika di SMA Oma sudah sering kali menyanyi, juga di luar sekolah.
Agak di luar dugaan, dan tak banyak yang tahu, ketika lulus SMA Oma berniat memperdalam agama di Pesantren Tebuireng, Jombang. Diam-diam ia berangkat ke Bandung, maksudnya dengan kereta api
akan bertolak ke Jombang. Tapi kakaknya, Benny, menyusul ke Bandung bersama Haris, temannya sejak kecil. Keduanya bermaksud mengantar Oma ke Tebuireng. Celakanya, uang tak cukup. Di kereta
api, ketiga orang inl main kuclng-kucingan dengan kondektur karena tidak punya karcis. Bahkan untuk makan Haris mencuri tahu. Ketika kereta tiba di Solo, ketiganya turun dan hidup menggelandang.
Haris, kini salah seorang staf di PT Rhoma Film, bisa menuturkan lebih lanjut kisah suram Oma selama menjadi "gelandangan" di Solo. Mereka membeli nasi dengan terlebih dahulu menjual baju secara bergiliran. Suatu malam, selesai makan di sebuah warung pinggir jalan, Oma memetik gitar dan mengalunkan sebuah lagu. Rupanya ada orang yang memperhatikan an tersentuh, kemudian
memberikan uang. Bahkan si pemberi uang itu, lelaki kekar yang tangannya penuh tato, menawarkan rumahnya yang berdinding bambu dan berlantai tanah untuk tempat penampungan. Ketiga "gelandangan Jakarta" ini bagai mendapat durian runtuh, walau rumah di tepi Bengawan Solo itu jauh dari sehat.
Esok hari setelah ditampung Gito - lelaki bertato itu - mulailah . profesi baru bagi tiga remaja ini, Benny, Oma Irama, dan Haris. Yakni, ngamen keliling Kota Solo. "Ketika menerima uang hasil ngamen, kami benar-benar terharu setelah Oma berkata, ini profesi kita sekarang," kata Haris. Hidup waktu itu pas-pasan untuk makan. Pakaian yang tinggal hanya yang melekat di badan. Oma mencuci pakaiannya malam hari dan dipakai lagi pagi harinya, kadang masih sedikit lembab. Periode menggelandang di Solo ini
berakhir menjelang G-30-S/ PKI - dan mereka kembali ke Jakarta.
Sebenarnya ada pula penuturan tentang masa prihatin lain yang dialami Oma Irama sebelum episode Solo, yakni ketika di Medan. Menurut sumber TEMPO, di Medan Oma diangkat sebagai anak oleh
seorang keluarga yang menemukan Oma sebagai penyemir sepatu. Kemudian di kota inilah Oma ikut grup band Varia Irama Melody. Kisah ini agak sulit dikonfirmasikan sekarang, juga dari Rhoma sendiri. "Saya tak ingat," jawab Rhoma tentang kisah-kisah perihal Medan. Tetapi ia membenarkan, pernah menetap beberapa lama di kota itu dan ikut grup band.
Keprihatinan di masa remaja, kehilangan ayah ketika masih di sekolah dasar (1957), membentuk pribadi Oma menjadi keras dan kukuh dalam prinsip dan pendirian. Kekerasan itu tampak dalam beberapa hal. Di bidang musik, ia berkali-kali pindah grup karena tiada kecocokan, akhirnya melahirkan Soneta Group. tahun 1971. Itu belum cukup. Ketika irama Melayu disudutkan sebagai musik kampungan, Oma tampil dengan "revolusi" di bidang musik dangdut, mencampurinya dengan rock. Kekerasan jiwa Oma juga dibawanya ke luar musik. September 1970, ia mengawini Veronica, penyanyi band cewek The Beach Girl, dengan liku-liku perjuangan yang menunjukkan betapa kerasnya hati Oma. Maklum Veronica lahir dari keluarga Katolik dan lamaran Oma sempat diabaikan.
Keluarga Rhoma Irama kini dikaruniai tiga putra. Debby Veranasari lahir 1971 dan sedang merampungkan album ketiga lagu anak-anak. Anak kedua, Vicky Zulfikar, lahir 1976. Dan menyusul
Romi Syahriali lahir 1977. Setiap hari ketiga anak ini dengan tekun mengaji kepada seorang guru dl lantal atas sebuah bangunan terbuka. Lantai bawah digunakan tempat latihan Soneta Group dan Soneta Girl. Kebisingan dan suara ingar bingar tak membuat ketiga anak Rhoma Irama terganggu mengaji.
Bukan cuma anaknya sendlri, tapi juga seluruh personil Soneta diharuskan punya dasar agama yang kuat. Dan sebagai orang yang gagal memasuki dunia pesantren, Rhoma mendatangkan guru agama,
Ustad Said Ubeid Elly, sejak 1974. "Sebenarnya saya hanya mengajarkan bahasa Arab kepada Haji Oma. Tapi sering juga kemudian terlibat diskusi tentang agama. Saya mengagumi Oma, ia begitu bergairah mempelajari agama," kata Ustad Said.
Dua tahun setelah mendatangkan guru Rhoma naik haji. Napas agama makin terasa dalam sepak terjang pemusik ini. Soneta Group diproklamasikan sebagai The Sound of Moslem, bahkan belakangan
mau diganti menjadi Haji Sembilan, mengabadikan tokoh Walisongo yang menyebarkan Islam dengan wayang dan gamelan. Lagu-lagu Rhoma makin gencar membawakan pesan-pesan agama. Rumah Rhoma yang besardan bertembok tinggi di Kebon Baru, Tebet, bersuasana pesantren. Bahkan kehidupan sehari-hari sedikit berbau Arab. Bukan saja setiap saat muncul sapaan Assalamualaikum, juga
istilah-istilah bahasa Arab lainnya, seperti ta faddal bila ada tamu, atau alafu untuk meminta maaf.
Unsur keagamaan ini mau tak mau menyeret Rhoma ke kancah politik setidaknya setiap ada pemilu. Rhoma Irama punya pandangan tegas dengan sikapnya yang keras itu "Sejak 1971 saya memilih kampanye untuk PPP karena ia beraspirasikan Islam," kata Rhoma. Perjalanan sang waktu mencatat aktvita. Rhoma Irama berkampanye dan jumlah korban yang jatuh karena tergencet menyaksikan raja dangdut ini naik ke mimbar kampanye. Ibu Rhoma, yang juga tinggal & Tebet tetapi terpisah dengan rumah keluarga Rhoma, menggigil ketakutan dan menangis saat-saat kampanye pemilu. Tetapi Rhoma selalu minta izin dan sambil mencium tangan ibunya, ia berkata, "Tak perlu khawatir melepaskan saya untuk kampanye. Kalau saya tak ada lagi, bukankah masih banyak adik saya yang bisa menggantikan saya?" Sang ibu hanya bisa berdoa.
Akibat pilihan politiknya bukan tak ada. Izin pementasannya dipersulit. "Pernah pula saya dilarang bicara, ketika panitia perkawinan mengundang saya untuk memberi nasihat-nasihat," tutur Rhoma. TVRI, dengan alasan yang tak pasti, tak pernah memunculkan Rhoma. Bahkan ketika FFI Medan, 1983, yang seluruh peralatan panggung dan musik kepunyaan Rhoma Irama dipergunakan dan acara itu disiarkan langsung TVRI, pada saat Soneta Group muncul TVRI mendadak berganti acara lain. "Semuanya itu saya terima dengan tabah," jawab Rhoma.
Tetapi Rhoma tak pernah menyebut dirinya politikus. Karena itu, dalam pemilu yang akan datang, ia tak akan bergabung dengan PPP lagi, apalagi kampanye. Kenapa? "PPP dan lain-lainnya sama saja,
tidak lagi memperjuangkan Islam," katanya. Ia kemudian menegaskan bahwa sejak dulu ia tak suka jabatan di politik apalagi di pemerintahan.
Kadang kala, seperti diakuinya, Rhoma juga bertanya dalam hati, pengucilan masih terus dikenakan, sementara ia merasa sebagai pembayar pajak yang setia. Pada tahun 1981 Rhoma membayar pajak
Rp 5 juta, dan tahun lalu Rp 20 juta. Ini pajak penghasilan pribadi. Artinya di luar pajak penghasilan perusahaan yang didirikan bersama keluarganya, seperti PT. Rhoma Film dan Soneta Record. Tahun lalu ia juga membayar zakat sebesar Rp 6 juta.
Orang kayakah Rhoma Irama? "Anda lebih kaya dari saya," kata Rhoma kepada TEMPO. Yang pasti, di rumah pinggir Kali Ciliwung itu, memang bertengger paling tidak empat mobil, salah satu bermerk Mercy, mobil yang biasa dipakai Rhoma. Dan di rumah ini sekitar 100 orang diberi makan setiap hari, dan pembantu, pemusik, penjaga pintu, sopir, dan tamu. Untuk makan setiap hari Ny. Vera mengaku mengeluarkan uang Rp 75.000 sampai Rp 100 000. Setiap bulan dikeluarkan uang sekitar Rp 7 juta untuk pos gaji: tujuh pembantu rumah tangga, empat sopir, dua petugas pintu, seorang penerima tamu, 10 anggota Soneta Group, 10 anggota Soneta Girl, dan 15 teknisi.
Dengan orang sebanyak itu, di luar tamu yang lalu-lalang, rumah Rhoma Irama memang tak pernah sepi. Dan memang mustahil kalau ada yang menyebutkan rumah Rhoma "tertutup". Rhoma sendiri
selalu minta kepada siapa saja di rumah itu untuk tidak berbohong. Misalnya, Rhoma ada di rumah, tetapi dikatakan tak ada. Tapi tak berarti orang mudah menemui pemusik itu. Siang hari ia lebih banyak tidur. Sore dan malam ia berkutat di perusahaan rekamannya di Cimanggis, Depok. Tak jarang, di tengah malam buta itulah Rhoma menerima tamunya. Kapan waktunya untuk anak-anak? "Secara khusus kadang kala tak ada waktu. Jika ada show, itu kesempatan terbaik bagi kami untuk jalan-jalan membawa anak," kata Ny. Vera. Dan Rhoma selalu minta maaf atas sempitnya waktu untuk anak-anaknya. "Kadang kala saya sempatkan untuk pulang subuh dan bersembahyang berjamaah di rumah dengan anak-anak, setelah itu ngobrol membicarakan persoalan mereka," kata Rhoma.
Sosok seperti inilah yang juga membesarkan Rhoma. Tapi apa pun julukan orang kepadanya, Rhoma adalah orang yang sederhana sehari-hari, bahkan ada kesan lugu. "Sejak naik haji Kang Rhoma
banyak diam. Ia hanya menjawab kalau ditanya," kata Dedy Irama, 28, satu-satunya dari sebelas saudara Rhoma yang ikut memakai nama Irama.
Keluarga ini tak pernah guncang oleh gosip seperti dialami artis lain. Pernah ia digosipkan dengan teman duetnya seperti Elvy Sukaesih, Dedeh, Rita Soegiarto, dan Ricca Rachim. Rhoma dan Vera tetap rukun. Tetapi Rhoma pernah mendatangi kantor media massa yang secara gencar menggosipkan dirinya ada main dengan perempuan laib. Masalahnya karena Debby, si kecil itu, langsung membawa koran ke depan ayahnya dan protes, "Apa-apaan sih ini, Papa? Koran ngeributin Papa, Papa diam saja." Itu tiga tahun yang lalu, dan kini Debby semakin "dewasa" dengan persoalan seperti itu. Bagi Rhoma, setiap ada gosip tentang pribadinya, ia melakukan introspeksi. "Saya selalu bertanya kepada-Nya, apa salah saya belum bisa jadi sahabat mereka yang suka memfitnah itu?" ujarnya.
Yang langsung dirasakan masyarakat, terutama di sekitar Tebet, adalah kedermawanan keluarga Rhoma. Ia banyak menyumbang untuk musala, masjid, yatim piatu, kegiatan remaja, dan perbaikan
kampung. Sumbangan itu diambilkan Rhoma dari honor-honor filmnya. "Rhoma tak pernah makan dari uang film. Ia hanya makan uang dari kaset lagu," kata Haji Benny Muharam, kakak Rhoma, yang jadi produser PT Rhoma Film.
Dunia film ternyata dunia yang penuh tanda tanya untuk menilai Rhoma secara utuh. Film-film Rhoma terdahulu adalah kisah tentang orang miskin, cinta yang ditolak atau sekitar itu. Tetapi dalam film terbarunya, Satria Bergitar, Rhoma seperti bermimpi. Ia tiba-tiba bermimpi menjadi nabi, dengan namanya sendiri, pada suatu masa yang tak jelas juntrungannya. Film yang payah jalan ceritanya ini terlalu sarat oleh pesan-pesan dakwah, sehingga terkesan penonton sebagai orang dungu yang harus
dicekoki. Begitu kontras, Rhoma, yang sehari-hari sederhana, banyak bicara, dan menolak disebut sperstar, tiba-tiba "berangan-angan" sedemikian besar di dalam Satria Bergitar. Suatu hal yang sulit diterka. Apa jawab Rhoma? "Itu urusan sutradara," katanya. Tidak salah, memang, tetapi orang tahu
Rhoma selalu menulis skenario untuk film-filmnya dan begitu dominan dalam menentukan jalan cerita.
Mungkinkah film itu dibuat dengan pertimbangan pasar? Sampai pekan lalu Satria Bergitar memang sudah memasukkan Rp 300 juta uang dari peredaran di Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Belum "di
daerah pinggiran", pasaran terbesar film-film Rhoma. Tak ada film Rhoma yang biaya pembuatannya tidak kembali. Cinta Kembar, film yang tengah diproses yang melibatkan keluarga Rhoma dari
adik sampai ibunya, "hanya" menelan biaya Rp 250 juta (bandingkan dengan Satria Bergitar yang memakan biaya Rp 750 juta) - tapi sudah dibeli pialang Rp 400 juta.
Mungkin ini yang disebutnya rezeki dari Allah.
TEMPO.....CATATAN TONY VAN JAVA
Sabtu, 19 Desember 2009
"Totalitas Perjuangan"
Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan
Di persimpangan jalan
Kepada pewaris peradaban
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
Di lembar sejarah manusia
- Reff :
Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta.
Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan
Di persimpangan jalan
Kepada pewaris peradaban
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
Di lembar sejarah manusia
- Reff :
Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta.
Langganan:
Komentar (Atom)